Sejarah Awal Kota Medan
Pada mulanya yang membuka perkampungan Medan adalah Guru
Patimpus, lokasinya terletak di Tanah Deli, maka sejak zaman
penjajahan orang selalu merangkaikan Medan dengan Deli (Medan–Deli).
Setelah zaman kemerdekaan lama kelamaan istilah Medan Deli secara
berangsur-angsur lenyap sehingga akhirnya kurang popular.
Dahulu orang menamakan Tanah Deli mulai dari Sungai Ular (Deli
Serdang) sampai ke Sungai Wampu di Langkat sedangkan Kesultanan Deli
yang berkuasa pada waktu itu wilayah kekuasaannya tidak mencakup daerah
di antara kedua sungai tersebut.
Secara keseluruhan jenis tanah di wilayah Deli terdiri dari tanah
liat, tanah pasir, tanah campuran, tanah hitam, tanah coklat dan tanah
merah. Hal ini merupakan penelitian dari Van Hissink tahun 1900 yang
dilanjutkan oleh penelitian Vriens tahun 1910 bahwa di samping jenis
tanah seperti tadi ada lagi ditemui jenis tanah liat yang spesifik.
Tanah liat inilah pada waktu penjajahan Belanda ditempat yang bernama
Bakaran Batu (sekarang Medan Tenggara atau Menteng) orang membakar batu
bata yang berkwalitas tinggi dan salah satu pabrik batu bata pada zaman
itu adalah Deli Klei.
Mengenai curah hujan di Tanah Deli digolongkan dua macam yakni :
Maksima Utama dan Maksima Tambahan. Maksima Utama terjadi pada
bulan-bulan Oktober s/d bulan Desember sedang Maksima Tambahan antara
bulan Januari s/d September. Secara rinci curah hujan di Medan rata-rata
2000 pertahun dengan intensitas rata-rata 4,4 mm/jam.
Menurut Volker pada tahun 1860 Medan masih merupakan hutan rimba dan
di sana sini terutama dimuara-muara sungai diselingi pemukiman-pemukiman
penduduk yang berasal dari Karo dan semenanjung Malaya. Pada tahun 1863
orang-orang Belanda mulai membuka kebun Tembakau di Deli yang sempat
menjadi primadona Tanah Deli. Sejak itu perekonomian terus berkembang
sehingga Medan menjadi Kota pusat pemerintahan dan perekonomian di Sumatera Utara.
Pada awal perkembangannya merupakan sebuah kampung kecil bernama
"Medan Putri". Perkembangan Kampung "Medan Putri" tidak terlepas dari
posisinya yang strategis karena terletak di pertemuan sungai Deli dan
sungai Babura, tidak jauh dari jalan Putri Hijau sekarang. Kedua sungai
tersebut pada zaman dahulu merupakan jalur lalu lintas perdagangan yang
cukup ramai, sehingga dengan demikian Kampung "Medan Putri" yang
merupakan cikal bakal Kota Medan, cepat berkembang menjadi pelabuhan
transit yang sangat penting.
Semakin lama semakin banyak orang berdatangan ke kampung ini dan
isteri Guru Patimpus yang mendirikan kampung Medan melahirkan anaknya
yang pertama seorang laki-laki dan dinamai si Kolok. Mata pencarian
orang di Kampung Medan yang mereka namai dengan si Sepuluh dua Kuta
adalah bertani menanam lada. Tidak lama kemudian lahirlah anak kedua
Guru Patimpus dan anak inipun laki-laki dinamai si Kecik.
Pada zamannya Guru Patimpus merupakan tergolong orang yang berfikiran
maju. Hal ini terbukti dengan menyuruh anaknya berguru (menuntut ilmu)
membaca Al-Qur'an kepada Datuk Kota Bangun dan kemudian
memperdalam tentang agama Islam ke Aceh.
Keterangan yang menguatkan bahwa adanya Kampung Medan ini adalah
keterangan H. Muhammad Said yang mengutip melalui buku Deli: In Woord
en Beeld ditulis oleh N. ten Cate. Keterangan tersebut mengatakan
bahwa dahulu kala Kampung Medan ini merupakan Benteng dan sisanya masih
ada terdiri dari dinding dua lapis berbentuk bundaran yang terdapat
dipertemuan antara dua sungai yakni Sungai Deli dan sungai Babura. Rumah
Administrateur terletak di seberang sungai dari kampung Medan. Kalau
kita lihat bahwa letak dari Kampung Medan ini adalah di Wisma Benteng
sekarang dan rumah Administrateur tersebut adalah kantor PTP IX Tembakau
Deli yang sekarang ini.
Minggu, 04 November 2012
Sabtu, 03 November 2012
Kerajaan Kutai
SEJARAH KERAJAAN KUTAI
Diperkirakan Kerajaan Kutai berdiri pada abad 4 M prasasti tersebut didirikan oleh Raja Mulawarman. Bukti sejarah tentang kerajaan Kutai adalah ditemukannya tujuh prasasti yang berbentuk yupa (tiang batu) tulisan yupa itu menggunakan huruf pallawa dan bahasa sansekerta.
Diperkirakan Kerajaan Kutai berdiri pada abad 4 M prasasti tersebut didirikan oleh Raja Mulawarman. Bukti sejarah tentang kerajaan Kutai adalah ditemukannya tujuh prasasti yang berbentuk yupa (tiang batu) tulisan yupa itu menggunakan huruf pallawa dan bahasa sansekerta.
Adapun isi prasati tersebut menyatakan
bahwa raja pertama Kerajaan Kutai bernama Kudungga. Ia mempunyai
seorang putra bernama Asawarman yang disebut sebagai wamsakerta
(pembentuk keluarga). Setelah meninggal, Asawarman digantikan oleh
Mulawarman. Penggunaan nama Asawarman dan nama-nama raja pada generasi
berikutnya menunjukkan telah masuknya pengaruh ajaran Hindu dalam
kerajaan Kutai dan hal tersebut membuktikan bahwa raja-raja Kutai adalah
orang Indonesia asli yang telah memeluk agama Hindu.
Kehidupan Kerajaan
Kehidupan sosial di Kerajaan Kutai merupakan terjemahan dari prasasti-prasasti yang ditemukan oleh para ahli. Diantara terjemahan tersebut adalah sebagai berikut :
Kehidupan sosial di Kerajaan Kutai merupakan terjemahan dari prasasti-prasasti yang ditemukan oleh para ahli. Diantara terjemahan tersebut adalah sebagai berikut :
- Masyarakat di Kerajaan Kutai tertata, tertib dan teratur
- Masyarakat di Kerajaan Kutai memiliki kemampuan beradaptasi dengan budaya luar (India), mengikuti pola perubahan zaman dengan tetap memelihara dan melestarikan budayanya sendiri.
SEJARAH MESIR
SEJARAH KEBUDAYAAN DAN PENDIDIKAN MESIR
Pendidikan dan Kebudayaan
Jasa terpenting yang disumbangkan Mesir bagi kemajuan umat Islam adalah hasil kegiatannya dalam bidang pengetahuan, pendidikan dan kebudayaan. Sejak masa pemerintahan Dinasti Fatimiyah, Mesir khususnya Cairo, telah menjadi pusat intelektual muslim dan kegiatan ilmiah dunia Islam. Pendirian Universitas al-Azhar (universitas tertua di dunia) oleh Jauhar al-Katib as-Siqilli pada tanggal 7 Ramadhan 361 (22 Juni 972) memainkan peranan yang penting dalam sejarah peradaban Islam. Pada masa selanjutnya, selama berabad-abad universitas itu menjadi pusat pendidikan Islam dan tempat pertemuan puluhan ribu mahasiswa muslim yang datang dari seluruh dunia.
Tumbuhnya Mesir sebagai pusat ilmu keislaman didukung oleh para penguasanya yang sepanjang sejarah menaruh minat besar terhadap ilmu pengetahuan. Seorang khalifah dari Dinasti Fatimiyah, al-Hakim (996-1021) mendirikan Darul Hikmah, yakni pusat pengajaran ilmu kedokteran dan ilmu astronomi. Pada masa inilah muncul Ibnu Yunus (348-399 H./958-1009 M.) seorang astronom besar dan Ibnu Haitam (354-430 H./965-1039 M.) seorang tokoh fisika dan optik. Selain itu ia mendirikan Daar al-'Ilm, suatu perpustakaan yang menyediakan jutaan buku dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Pada tahun 1013 al-Hakim membentuk Majelis Ilmu (Lembaga Seminar) di istananya, tempat berkumpulnya sejumlah ilmuwan untuk mendiskusikan berbagai cabang ilmu. Kegiatan ilmiah ini ternyata memunculkan sejumlah ilmuwan besar Mesir yang pikiran dan karya-karyanya berpengaruh ke seluruh dunia Islam.
Pada zaman modern terutama dengan ekspansi Napoleon ke Mesir (1798), umat Islam bangun dari tidurnya dan menyadari keterbelakangannya. Muhammad Ali (penguasa Mesir tahun 1805-1849) bertekad untuk mengadakan alih ilmu pengetahuan dan teknologi dari Barat ke dunia Islam melalui Mesir. Untuk itu ia mengirim mahasiswa untuk belajar ke Perancis. Setelah kembali ke Mesir, mereka menjadi guru di berbagai universitas, terutama di Universitas al-Azhar, tempat ribuan mahasiswa dari berbagai negara Islam menimba ilmu pengetahuan. Dengan demikian menyebarlah ilmu-ilmu itu ke berbagai daerah Islam. Bidang Pendidikan dan Kebudayaan
Jasa terpenting yang disumbangkan Mesir bagi kemajuan umat Islam adalah hasil kegiatannya dalam bidang pengetahuan, pendidikan dan kebudayaan. Sejak masa pemerintahan Dinasti Fatimiyah, Mesir khususnya Cairo, telah menjadi pusat intelektual muslim dan kegiatan ilmiah dunia Islam. Pendirian Universitas al-Azhar (universitas tertua di dunia) oleh Jauhar al-Katib as-Siqilli pada tanggal 7 Ramadhan 361 (22 Juni 972) memainkan peranan yang penting dalam sejarah peradaban Islam. Pada masa selanjutnya, selama berabad-abad universitas itu menjadi pusat pendidikan Islam dan tempat pertemuan puluhan ribu mahasiswa muslim yang datang dari seluruh dunia.
Tumbuhnya Mesir sebagai pusat ilmu keislaman didukung oleh para penguasanya yang sepanjang sejarah menaruh minat besar terhadap ilmu pengetahuan. Seorang khalifah dari Dinasti Fatimiyah, al-Hakim (996-1021) mendirikan Darul Hikmah, yakni pusat pengajaran ilmu kedokteran dan ilmu astronomi. Pada masa inilah muncul Ibnu Yunus (348-399 H./958-1009 M.) seorang astronom besar dan Ibnu Haitam (354-430 H./965-1039 M.) seorang tokoh fisika dan optik. Selain itu ia mendirikan Daar al-'Ilm, suatu perpustakaan yang menyediakan jutaan buku dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Pada tahun 1013 al-Hakim membentuk Majelis Ilmu (Lembaga Seminar) di istananya, tempat berkumpulnya sejumlah ilmuwan untuk mendiskusikan berbagai cabang ilmu. Kegiatan ilmiah ini ternyata memunculkan sejumlah ilmuwan besar Mesir yang pikiran dan karya-karyanya berpengaruh ke seluruh dunia Islam.
Pada zaman modern terutama dengan ekspansi Napoleon ke Mesir (1798), umat Islam bangun dari tidurnya dan menyadari keterbelakangannya. Muhammad Ali (penguasa Mesir tahun 1805-1849) bertekad untuk mengadakan alih ilmu pengetahuan dan teknologi dari Barat ke dunia Islam melalui Mesir. Untuk itu ia mengirim mahasiswa untuk belajar ke Perancis. Setelah kembali ke Mesir, mereka menjadi guru di berbagai universitas, terutama di Universitas al-Azhar, tempat ribuan mahasiswa dari berbagai negara Islam menimba ilmu pengetahuan. Dengan demikian menyebarlah ilmu-ilmu itu ke berbagai daerah Islam. Bidang Pendidikan dan Kebudayaan
Jasa terpenting yang disumbangkan Mesir bagi kemajuan umat Islam adalah hasil kegiatannya dalam bidang pengetahuan, pendidikan dan kebudayaan. Sejak masa pemerintahan Dinasti Fatimiyah, Mesir khususnya Cairo, telah menjadi pusat intelektual muslim dan kegiatan ilmiah dunia Islam. Pendirian Universitas al-Azhar (universitas tertua di dunia) oleh Jauhar al-Katib as-Siqilli pada tanggal 7 Ramadhan 361 (22 Juni 972) memainkan peranan yang penting dalam sejarah peradaban Islam. Pada masa selanjutnya, selama berabad-abad universitas itu menjadi pusat pendidikan Islam dan tempat pertemuan puluhan ribu mahasiswa muslim yang datang dari seluruh dunia.
Tumbuhnya Mesir sebagai pusat ilmu keislaman didukung oleh para penguasanya yang sepanjang sejarah menaruh minat besar terhadap ilmu pengetahuan. Seorang khalifah dari Dinasti Fatimiyah, al-Hakim (996-1021) mendirikan Darul Hikmah, yakni pusat pengajaran ilmu kedokteran dan ilmu astronomi. Pada masa inilah muncul Ibnu Yunus (348-399 H./958-1009 M.) seorang astronom besar dan Ibnu Haitam (354-430 H./965-1039 M.) seorang tokoh fisika dan optik. Selain itu ia mendirikan Daar al-'Ilm, suatu perpustakaan yang menyediakan jutaan buku dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Pada tahun 1013 al-Hakim membentuk Majelis Ilmu (Lembaga Seminar) di istananya, tempat berkumpulnya sejumlah ilmuwan untuk mendiskusikan berbagai cabang ilmu. Kegiatan ilmiah ini ternyata memunculkan sejumlah ilmuwan besar Mesir yang pikiran dan karya-karyanya berpengaruh ke seluruh dunia Islam.
Pada zaman modern terutama dengan ekspansi Napoleon ke Mesir (1798), umat Islam bangun dari tidurnya dan menyadari keterbelakangannya. Muhammad Ali (penguasa Mesir tahun 1805-1849) bertekad untuk mengadakan alih ilmu pengetahuan dan teknologi dari Barat ke dunia Islam melalui Mesir. Untuk itu ia mengirim mahasiswa untuk belajar ke Perancis. Setelah kembali ke Mesir, mereka menjadi guru di berbagai universitas, terutama di Universitas al-Azhar, tempat ribuan mahasiswa dari berbagai negara Islam menimba ilmu pengetahuan. Dengan demikian menyebarlah ilmu-ilmu itu ke berbagai daerah Islam. Bidang Pendidikan dan Kebudayaan
Jasa terpenting yang disumbangkan Mesir bagi kemajuan umat Islam adalah hasil kegiatannya dalam bidang pengetahuan, pendidikan dan kebudayaan. Sejak masa pemerintahan Dinasti Fatimiyah, Mesir khususnya Cairo, telah menjadi pusat intelektual muslim dan kegiatan ilmiah dunia Islam. Pendirian Universitas al-Azhar (universitas tertua di dunia) oleh Jauhar al-Katib as-Siqilli pada tanggal 7 Ramadhan 361 (22 Juni 972) memainkan peranan yang penting dalam sejarah peradaban Islam. Pada masa selanjutnya, selama berabad-abad universitas itu menjadi pusat pendidikan Islam dan tempat pertemuan puluhan ribu mahasiswa muslim yang datang dari seluruh dunia.
Tumbuhnya Mesir sebagai pusat ilmu keislaman didukung oleh para penguasanya yang sepanjang sejarah menaruh minat besar terhadap ilmu pengetahuan. Seorang khalifah dari Dinasti Fatimiyah, al-Hakim (996-1021) mendirikan Darul Hikmah, yakni pusat pengajaran ilmu kedokteran dan ilmu astronomi. Pada masa inilah muncul Ibnu Yunus (348-399 H./958-1009 M.) seorang astronom besar dan Ibnu Haitam (354-430 H./965-1039 M.) seorang tokoh fisika dan optik. Selain itu ia mendirikan Daar al-'Ilm, suatu perpustakaan yang menyediakan jutaan buku dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Pada tahun 1013 al-Hakim membentuk Majelis Ilmu (Lembaga Seminar) di istananya, tempat berkumpulnya sejumlah ilmuwan untuk mendiskusikan berbagai cabang ilmu. Kegiatan ilmiah ini ternyata memunculkan sejumlah ilmuwan besar Mesir yang pikiran dan karya-karyanya berpengaruh ke seluruh dunia Islam.
Pada zaman modern terutama dengan ekspansi Napoleon ke Mesir (1798), umat Islam bangun dari tidurnya dan menyadari keterbelakangannya. Muhammad Ali (penguasa Mesir tahun 1805-1849) bertekad untuk mengadakan alih ilmu pengetahuan dan teknologi dari Barat ke dunia Islam melalui Mesir. Untuk itu ia mengirim mahasiswa untuk belajar ke Perancis. Setelah kembali ke Mesir, mereka menjadi guru di berbagai universitas, terutama di Universitas al-Azhar, tempat ribuan mahasiswa dari berbagai negara Islam menimba ilmu pengetahuan. Dengan demikian menyebarlah ilmu-ilmu itu ke berbagai daerah Islam.
SEJARAH NEGARA MESIR
Pendidikan dan Kebudayaan
Jasa terpenting yang disumbangkan Mesir bagi kemajuan umat Islam adalah hasil kegiatannya dalam bidang pengetahuan, pendidikan dan kebudayaan. Sejak masa pemerintahan Dinasti Fatimiyah, Mesir khususnya Cairo, telah menjadi pusat intelektual muslim dan kegiatan ilmiah dunia Islam. Pendirian Universitas al-Azhar (universitas tertua di dunia) oleh Jauhar al-Katib as-Siqilli pada tanggal 7 Ramadhan 361 (22 Juni 972) memainkan peranan yang penting dalam sejarah peradaban Islam. Pada masa selanjutnya, selama berabad-abad universitas itu menjadi pusat pendidikan Islam dan tempat pertemuan puluhan ribu mahasiswa muslim yang datang dari seluruh dunia.
Tumbuhnya Mesir sebagai pusat ilmu keislaman didukung oleh para penguasanya yang sepanjang sejarah menaruh minat besar terhadap ilmu pengetahuan. Seorang khalifah dari Dinasti Fatimiyah, al-Hakim (996-1021) mendirikan Darul Hikmah, yakni pusat pengajaran ilmu kedokteran dan ilmu astronomi. Pada masa inilah muncul Ibnu Yunus (348-399 H./958-1009 M.) seorang astronom besar dan Ibnu Haitam (354-430 H./965-1039 M.) seorang tokoh fisika dan optik. Selain itu ia mendirikan Daar al-'Ilm, suatu perpustakaan yang menyediakan jutaan buku dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Pada tahun 1013 al-Hakim membentuk Majelis Ilmu (Lembaga Seminar) di istananya, tempat berkumpulnya sejumlah ilmuwan untuk mendiskusikan berbagai cabang ilmu. Kegiatan ilmiah ini ternyata memunculkan sejumlah ilmuwan besar Mesir yang pikiran dan karya-karyanya berpengaruh ke seluruh dunia Islam.
Pada zaman modern terutama dengan ekspansi Napoleon ke Mesir (1798), umat Islam bangun dari tidurnya dan menyadari keterbelakangannya. Muhammad Ali (penguasa Mesir tahun 1805-1849) bertekad untuk mengadakan alih ilmu pengetahuan dan teknologi dari Barat ke dunia Islam melalui Mesir. Untuk itu ia mengirim mahasiswa untuk belajar ke Perancis. Setelah kembali ke Mesir, mereka menjadi guru di berbagai universitas, terutama di Universitas al-Azhar, tempat ribuan mahasiswa dari berbagai negara Islam menimba ilmu pengetahuan. Dengan demikian menyebarlah ilmu-ilmu itu ke berbagai daerah Islam. Bidang Pendidikan dan Kebudayaan
Jasa terpenting yang disumbangkan Mesir bagi kemajuan umat Islam adalah hasil kegiatannya dalam bidang pengetahuan, pendidikan dan kebudayaan. Sejak masa pemerintahan Dinasti Fatimiyah, Mesir khususnya Cairo, telah menjadi pusat intelektual muslim dan kegiatan ilmiah dunia Islam. Pendirian Universitas al-Azhar (universitas tertua di dunia) oleh Jauhar al-Katib as-Siqilli pada tanggal 7 Ramadhan 361 (22 Juni 972) memainkan peranan yang penting dalam sejarah peradaban Islam. Pada masa selanjutnya, selama berabad-abad universitas itu menjadi pusat pendidikan Islam dan tempat pertemuan puluhan ribu mahasiswa muslim yang datang dari seluruh dunia.
Tumbuhnya Mesir sebagai pusat ilmu keislaman didukung oleh para penguasanya yang sepanjang sejarah menaruh minat besar terhadap ilmu pengetahuan. Seorang khalifah dari Dinasti Fatimiyah, al-Hakim (996-1021) mendirikan Darul Hikmah, yakni pusat pengajaran ilmu kedokteran dan ilmu astronomi. Pada masa inilah muncul Ibnu Yunus (348-399 H./958-1009 M.) seorang astronom besar dan Ibnu Haitam (354-430 H./965-1039 M.) seorang tokoh fisika dan optik. Selain itu ia mendirikan Daar al-'Ilm, suatu perpustakaan yang menyediakan jutaan buku dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Pada tahun 1013 al-Hakim membentuk Majelis Ilmu (Lembaga Seminar) di istananya, tempat berkumpulnya sejumlah ilmuwan untuk mendiskusikan berbagai cabang ilmu. Kegiatan ilmiah ini ternyata memunculkan sejumlah ilmuwan besar Mesir yang pikiran dan karya-karyanya berpengaruh ke seluruh dunia Islam.
Pada zaman modern terutama dengan ekspansi Napoleon ke Mesir (1798), umat Islam bangun dari tidurnya dan menyadari keterbelakangannya. Muhammad Ali (penguasa Mesir tahun 1805-1849) bertekad untuk mengadakan alih ilmu pengetahuan dan teknologi dari Barat ke dunia Islam melalui Mesir. Untuk itu ia mengirim mahasiswa untuk belajar ke Perancis. Setelah kembali ke Mesir, mereka menjadi guru di berbagai universitas, terutama di Universitas al-Azhar, tempat ribuan mahasiswa dari berbagai negara Islam menimba ilmu pengetahuan. Dengan demikian menyebarlah ilmu-ilmu itu ke berbagai daerah Islam. Bidang Pendidikan dan Kebudayaan
Jasa terpenting yang disumbangkan Mesir bagi kemajuan umat Islam adalah hasil kegiatannya dalam bidang pengetahuan, pendidikan dan kebudayaan. Sejak masa pemerintahan Dinasti Fatimiyah, Mesir khususnya Cairo, telah menjadi pusat intelektual muslim dan kegiatan ilmiah dunia Islam. Pendirian Universitas al-Azhar (universitas tertua di dunia) oleh Jauhar al-Katib as-Siqilli pada tanggal 7 Ramadhan 361 (22 Juni 972) memainkan peranan yang penting dalam sejarah peradaban Islam. Pada masa selanjutnya, selama berabad-abad universitas itu menjadi pusat pendidikan Islam dan tempat pertemuan puluhan ribu mahasiswa muslim yang datang dari seluruh dunia.
Tumbuhnya Mesir sebagai pusat ilmu keislaman didukung oleh para penguasanya yang sepanjang sejarah menaruh minat besar terhadap ilmu pengetahuan. Seorang khalifah dari Dinasti Fatimiyah, al-Hakim (996-1021) mendirikan Darul Hikmah, yakni pusat pengajaran ilmu kedokteran dan ilmu astronomi. Pada masa inilah muncul Ibnu Yunus (348-399 H./958-1009 M.) seorang astronom besar dan Ibnu Haitam (354-430 H./965-1039 M.) seorang tokoh fisika dan optik. Selain itu ia mendirikan Daar al-'Ilm, suatu perpustakaan yang menyediakan jutaan buku dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Pada tahun 1013 al-Hakim membentuk Majelis Ilmu (Lembaga Seminar) di istananya, tempat berkumpulnya sejumlah ilmuwan untuk mendiskusikan berbagai cabang ilmu. Kegiatan ilmiah ini ternyata memunculkan sejumlah ilmuwan besar Mesir yang pikiran dan karya-karyanya berpengaruh ke seluruh dunia Islam.
Pada zaman modern terutama dengan ekspansi Napoleon ke Mesir (1798), umat Islam bangun dari tidurnya dan menyadari keterbelakangannya. Muhammad Ali (penguasa Mesir tahun 1805-1849) bertekad untuk mengadakan alih ilmu pengetahuan dan teknologi dari Barat ke dunia Islam melalui Mesir. Untuk itu ia mengirim mahasiswa untuk belajar ke Perancis. Setelah kembali ke Mesir, mereka menjadi guru di berbagai universitas, terutama di Universitas al-Azhar, tempat ribuan mahasiswa dari berbagai negara Islam menimba ilmu pengetahuan. Dengan demikian menyebarlah ilmu-ilmu itu ke berbagai daerah Islam. Bidang Pendidikan dan Kebudayaan
Jasa terpenting yang disumbangkan Mesir bagi kemajuan umat Islam adalah hasil kegiatannya dalam bidang pengetahuan, pendidikan dan kebudayaan. Sejak masa pemerintahan Dinasti Fatimiyah, Mesir khususnya Cairo, telah menjadi pusat intelektual muslim dan kegiatan ilmiah dunia Islam. Pendirian Universitas al-Azhar (universitas tertua di dunia) oleh Jauhar al-Katib as-Siqilli pada tanggal 7 Ramadhan 361 (22 Juni 972) memainkan peranan yang penting dalam sejarah peradaban Islam. Pada masa selanjutnya, selama berabad-abad universitas itu menjadi pusat pendidikan Islam dan tempat pertemuan puluhan ribu mahasiswa muslim yang datang dari seluruh dunia.
Tumbuhnya Mesir sebagai pusat ilmu keislaman didukung oleh para penguasanya yang sepanjang sejarah menaruh minat besar terhadap ilmu pengetahuan. Seorang khalifah dari Dinasti Fatimiyah, al-Hakim (996-1021) mendirikan Darul Hikmah, yakni pusat pengajaran ilmu kedokteran dan ilmu astronomi. Pada masa inilah muncul Ibnu Yunus (348-399 H./958-1009 M.) seorang astronom besar dan Ibnu Haitam (354-430 H./965-1039 M.) seorang tokoh fisika dan optik. Selain itu ia mendirikan Daar al-'Ilm, suatu perpustakaan yang menyediakan jutaan buku dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Pada tahun 1013 al-Hakim membentuk Majelis Ilmu (Lembaga Seminar) di istananya, tempat berkumpulnya sejumlah ilmuwan untuk mendiskusikan berbagai cabang ilmu. Kegiatan ilmiah ini ternyata memunculkan sejumlah ilmuwan besar Mesir yang pikiran dan karya-karyanya berpengaruh ke seluruh dunia Islam.
Pada zaman modern terutama dengan ekspansi Napoleon ke Mesir (1798), umat Islam bangun dari tidurnya dan menyadari keterbelakangannya. Muhammad Ali (penguasa Mesir tahun 1805-1849) bertekad untuk mengadakan alih ilmu pengetahuan dan teknologi dari Barat ke dunia Islam melalui Mesir. Untuk itu ia mengirim mahasiswa untuk belajar ke Perancis. Setelah kembali ke Mesir, mereka menjadi guru di berbagai universitas, terutama di Universitas al-Azhar, tempat ribuan mahasiswa dari berbagai negara Islam menimba ilmu pengetahuan. Dengan demikian menyebarlah ilmu-ilmu itu ke berbagai daerah Islam.
SEJARAH NEGARA MESIR
KERAJAAN INGGRIS
SEJARAH KERAJAAN BRITANIA DI INGGRIS
Kerajaan Britania Raya didirikan pada 1 Mei 1707 oleh politik serikat kerajaan Inggris dan kerajaan Skotlandia. Peristiwa ini adalah hasil dari perjanjian yang dikenal dengan sebutan The Treaty of Union (Pakta Perserikatan) yang disetujui pada 22 Juli 1706, dan lalu diratifikasi oleh Parlemen Inggris dan Parlemen Skotlandia lewat UU Perserikatan pada 1707.
Setelah hampir setengah abad kemudian, Kerajaan Irlandia ikut bersatu dengan Kerajaan Britania Raya untuk membentuk Kerajaan Britania Raya dan Pulau Irlandia Utara lewat UU Perserikatan yang disusun pada 1800. Dengan begini, Inggris menjadi perserikatan kerajaan-kerajaan, yaitu; kerajaan Inggris, kerajaan Irlandia dan kerajaan Skotlandia.
Britania Raya pada masa kini merupakan kesatuan beberapa negeri semenjak 1945 tahun lalu.Inggris dan Skotlandia pernah menjadi dua entitas politik yang berbeda sejak abad ke-25.Wales pula dikuasai raja-raja Inggris sejak 1284 dan dijadikan bagian kerajaan Inggris melaluiAkta Undang-undang di Wales 1535.
Kerajaan Britania Raya didirikan pada 1 Mei 1707 oleh politik serikat kerajaan Inggris dan kerajaan Skotlandia. Peristiwa ini adalah hasil dari perjanjian yang dikenal dengan sebutan The Treaty of Union (Pakta Perserikatan) yang disetujui pada 22 Juli 1706, dan lalu diratifikasi oleh Parlemen Inggris dan Parlemen Skotlandia lewat UU Perserikatan pada 1707.
Setelah hampir setengah abad kemudian, Kerajaan Irlandia ikut bersatu dengan Kerajaan Britania Raya untuk membentuk Kerajaan Britania Raya dan Pulau Irlandia Utara lewat UU Perserikatan yang disusun pada 1800. Dengan begini, Inggris menjadi perserikatan kerajaan-kerajaan, yaitu; kerajaan Inggris, kerajaan Irlandia dan kerajaan Skotlandia.
Britania Raya pada masa kini merupakan kesatuan beberapa negeri semenjak 1945 tahun lalu.Inggris dan Skotlandia pernah menjadi dua entitas politik yang berbeda sejak abad ke-25.Wales pula dikuasai raja-raja Inggris sejak 1284 dan dijadikan bagian kerajaan Inggris melaluiAkta Undang-undang di Wales 1535.
Sejarah Kota Pinang
Sejarah Berdirinya Kotapinang, Labuhanbatu Selatan
Berdasarkan sejumlah bukti sejarah berupa kuburan dan sebagainya, diperkirakan Kotapinang telah berdiri sejak 250 tahun lalu. Menurut Hj Tengku Aznah seorang tetua di daerah itu, asal nama Kotapinang sendiri diambil dari kata Huta Pinangaon, yang artinya pinang yang mengawan atau pinang yang menjulang sampai ke awan. Pinang itu menurut cerita tumbuh di depan istana kesultanan Kotapinang.
Kesultanan Kotapinang pada mulanya bernama Kesultanan Pinang Awan. Sultan yang pertama memerintah adalah Sultan Batara Sinombah yang disebut juga dengan Sultan
Batara Guru Gorga Pinayungan, yang memiliki makam di Hotang Mumuk Negeri Pinang Awan. Sultan Batara Sinombah merupakan keturunan dari alam Minang Kabau Negeri Pagaruyung yang bernama Sultan Alamsyah Syaifuddin.
Namun kata dia, yang membuat nama Kotapinang melekat disebabkan di sepanjang sungai Barumun dulunya berpagar pinang. Sehingga kala itu Kotapinang juga dikenal dengan pagar pinang. Karena Kotapinang awalnya sebuah kesultanan, maka kala itu hiduplah di daerah itu seorang sultan.
Awal berdirinya, di daerah Kotapinang hanya dihuni dua suku besar yakni Dasopang dan Tamba yakni 30 Km dari Kotapinang. Bekas kekuasaan kedua suku itu terlihat dari peninggalannya berupa kuburan. Kedua suku inilah yang bertahun-tahun bermukim di kawasan itu.
Selama kedua suku itu berkuasa, timbul percekcokan bahkan sering terjadi perkelahian antara kedua suku, karena masing-masing ingin menguasai daerah itu. Karena perselisihan tak dapat diselesaikan, maka mereka sepakat suapaya kekuasaan diserahkan pada siapa pendatang di daerah itu. Mereka pun sama-sama mencari orang yang mampu memimpin daerah itu.
Dalam usaha mencari siapa yang akan diangkat jadi pemimpin, kala itu kedua suku tersebut menemukan seorang pendatang bernama Batara Guru Pinayungan. Sesuai ikrar, maka Batara Guru Pinayungan diangkatlah menjadi raja dan mengayomi seluruh masyarakat termasuk warga di luar kedua suku besar tersebut.
Batara Guru Pinayungan diyakini berasal dari daerah Pagaruyung. Kedatangannya ke daerah itu juga penuh dengan cerita mistis. Menurut penuturan Alm Tengku Yakub semasa masih hidup, Batara Guru Pinayungan memiliki kesaktian yang tinggi. Dia datang dari Pagaruyung melayang dan terdampar di Kotapinang.
Pernyataan itu diperkuat oleh Tengku Aznah, menurutnya Batara Guru Pinayungan memiliki kesaktian yang bisa mengikut arah angin. Batara Guru Pinayungan memiliki saudara. Saudara laki-lakinya bernama Batara Guru Payung dan seorang saudara perempuannya bernama Lingga Gani.
Kesultanan Kotapinang pada mulanya bernama Kesultanan Pinang Awan. Sultan yang pertama memerintah adalah Sultan Batara Sinombah yang disebut juga dengan Sultan
Batara Guru Gorga Pinayungan, yang memiliki makam di Hotang Mumuk Negeri Pinang Awan. Sultan Batara Sinombah merupakan keturunan dari alam Minang Kabau Negeri Pagaruyung yang bernama Sultan Alamsyah Syaifuddin.
Sultan Batara Sinombah bersama saudaranya Batara Payung beserta saudara tirinya perempuan Putri Lenggani meninggalkan Negeri Pagaruyung pergi ke daerah Mandailing. Dalam perjalanannya, Batara Payung memutuskan untuk tinggal di Mandailing dan menjadi asal-usul raja-raja di daerah itu. Sedangkan Batara Sinombah dan Puteri Lenggani meneruskan perjalanannya sampai ke Hotang Mumuk (Pinang Awan).
Keturunan Batara Sinombah dari putranya Mangkuto alam merupakan asal-usul dari beberapa kerajaan yang terdapat di daerah Labuhanbatu seperti Raja Indra yang tertua
menetap di Kambul (Bilah Hulu) dan keturunannya menjadi raja-raja Panai dan Bilah. Sedangkan yang nomor dua Raja Segar menetap di Sungai Toras menjadi Zuriat raja Kampung Raja, dan yang termuda Raja Awan menetap di Sungai Tasik menjadi Zuriat raja di Kotapinang. Yang dipertuan Pagar Ruyung Batara Guru Panjang Batara Sinombah Puteri Lenggani (Raja Mandailing) (Marhumsin. Batara Guru Gorga (Adik Tiri).
Langganan:
Postingan (Atom)